Karya sastra merupakan potret
kehidupan yang menyangkut berbagai persoalan dalam masyarakat. Persolan
tersebut merupakan tanggapan sastrawan terhadap fenomena sosial beserta
kompleksitas permasalahan yang ada di sekitarnya.
Sebagi
sebuah renungan, cerpen Kiai Jogoloyo karya Shoim Anwar mengupas tema ulama
yang mengikuti partai politik, menggambarkan bahwa polotik dan sastra seakan
sudah seperti saudara yang selalu bersama dalam menjalankan kehidupan.
Ulama
adalah orang-orang yang meyakini, membenarkan dan mengamalkan kitab suci
melalui pengetahuan serta menyebarkan kepada masyarakat tanpa pamrih. Itulah
sebabnya ulama sangat dihormati oleh masyarakat, terlihat pada kutipan di bawah
ini,
“Di seberang sungai,
orang-orang sudah bersiap menyambut kedatangan sang Kiai. Mereka sudah berbaris
sejak satu jam yang lalu. Kabar akan kedatangan Kiai Jogoloyo memang sudah
tersiar jauh hari. Maka seluruh jalan kampung yang akan dilalui kiai
dibersihkan, pagar-pagar dicat dan bunga-bunga dalam pot dijajar sepanjang
jalan. Umbul-umbul tampak berkibaran di sana-sini. Kampung benar-benar beriman:
bersih-indah-nyaman” (Soim Anwar, 2009:210).
Kutipan
di atas menggambarkan bahwa pengarang menghormati keberadaan ulama, namun sudah
sejak lama ada semacam pemahaman bahkan keyakinan bahwa ulama harus tetap
seteril atau jauh dari polotik. Terlihat pada kutipan berikut:
“Sebagai perangkat desa,
kita harus netral, tidak boleh memihak salah satu partai polotik,” Kata Kebayan
Sariban ketika mendengar kampungnya akan dipakai ajang kampanye.
“Seharusnya memang
begitu,” Lurah Harmono menimpali.
“Tapi ini perkaranya
lain.” Sahut Modin Mudlofar.
“Lain gimana,” carik
Kasnadi memotong.
“Kiai Jogoloyo akan
hadir.”
Lurah dan carik
terperanjat. Seperti tak percaya dengan kata-kata yang abru didengar. Keduanya
menatap Modin Mudlofar.
“Benar itu, Din?
“Benar!” Modin Modlofar
meyakinkan. Dia menambahakan beberapa informasi yang dapat dipercaya dari
lingkungan pondok kiai itu. Para cantrik dan santri sudah bicara terbuka soal
masuknya Kiai Jogoloyo ke partai politik” (Soim Anwar, 2009:211).
Dari
kutipan diatas menggambarkan penulis seakan-akan berkeyakinan ulama harus tetap
konsisten untuk bergerak dalam tataran pendidikan agama. Tidak perlu bahkan
tidak seharusnya ikut-ikutan berpolitik apalagi sekadar dalam pertarungan
perebutan kekuasaan.
Ketika
ulama secara pribadi mulai bersentuhan dengan ranah politik, tentunya bukan
kabar yang mengecewakan. Sebab bagaimanapun politik sebetulnya adalah bagian
dari islam. Bukankah Nabi Muhammad SAW adalah seorang politis? Sebagaimana
dicatat oleh para ulama dan sejarahwan islam, para sahabat nabi yang terdekat
Abu Bakar Ash-Shidiq, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib semuanya pernah
menjabat sebagai khalifah yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin.
Namun,
di sisi lain terdapat ulama yang dalam menjalankan aktivitas politiknya tidak
jarang mengabaikan nili-nilai islam. Itulah pesan yang tersirat pada cerpen
Kiai Jogoloyo. Pengarang menggambarkan sisi yang berbeda. Ulama yang berpolitik
(diperankan oleh tokoh Kiai Jogoloyo) bulan dilandasi syariat islam, tetapi
lebih diatkan untuk kepentingan sesaat, sehingga pada akhir cerita tedapat
kutipan “Esok paginya, di halaman depan koran tertulis: Judul berita utama:
Politikus Partai Kecemplung kali” (Soim Anwar, 2009:218).
Dari uraian diatas, kiranya kita tidak
meruncingkan pertentangan ulama yang ikut partai politik. Sering dikatakan
bahwa politisi adalah “profesi kotor” dan Kiai adalah “profesi putih”. Amat
kontras. Masalahnya ialah apakah yang putih akan bisa membersihkan yang kotor
atau sebaliknya? Atau lebih banyak mana bidang puting ketimbang bidang hitam?
Mempertimbangkan pertanyaan diatas yang ideal memang Kiai tidak berpolitik
praktis, atau lebih sedikit yang terlibat lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar