Rabu, 12 Juni 2013

Ulama dalam Politik (cerpen Kiai Jogoloyo karya Shoim Anwar)



            Karya sastra merupakan potret kehidupan yang menyangkut berbagai persoalan dalam masyarakat. Persolan tersebut merupakan tanggapan sastrawan terhadap fenomena sosial beserta kompleksitas permasalahan yang ada di sekitarnya.
Sebagi sebuah renungan, cerpen Kiai Jogoloyo karya Shoim Anwar mengupas tema ulama yang mengikuti partai politik, menggambarkan bahwa polotik dan sastra seakan sudah seperti saudara yang selalu bersama dalam menjalankan kehidupan.
Ulama adalah orang-orang yang meyakini, membenarkan dan mengamalkan kitab suci melalui pengetahuan serta menyebarkan kepada masyarakat tanpa pamrih. Itulah sebabnya ulama sangat dihormati oleh masyarakat, terlihat pada kutipan di bawah ini,
“Di seberang sungai, orang-orang sudah bersiap menyambut kedatangan sang Kiai. Mereka sudah berbaris sejak satu jam yang lalu. Kabar akan kedatangan Kiai Jogoloyo memang sudah tersiar jauh hari. Maka seluruh jalan kampung yang akan dilalui kiai dibersihkan, pagar-pagar dicat dan bunga-bunga dalam pot dijajar sepanjang jalan. Umbul-umbul tampak berkibaran di sana-sini. Kampung benar-benar beriman: bersih-indah-nyaman” (Soim Anwar, 2009:210).

Kutipan di atas menggambarkan bahwa pengarang menghormati keberadaan ulama, namun sudah sejak lama ada semacam pemahaman bahkan keyakinan bahwa ulama harus tetap seteril atau jauh dari polotik. Terlihat pada kutipan berikut:
“Sebagai perangkat desa, kita harus netral, tidak boleh memihak salah satu partai polotik,” Kata Kebayan Sariban ketika mendengar kampungnya akan dipakai ajang kampanye.
“Seharusnya memang begitu,” Lurah Harmono menimpali.
“Tapi ini perkaranya lain.” Sahut Modin Mudlofar.
“Lain gimana,” carik Kasnadi memotong.
“Kiai Jogoloyo akan hadir.”
Lurah dan carik terperanjat. Seperti tak percaya dengan kata-kata yang abru didengar. Keduanya menatap Modin Mudlofar.
“Benar itu, Din?
“Benar!” Modin Modlofar meyakinkan. Dia menambahakan beberapa informasi yang dapat dipercaya dari lingkungan pondok kiai itu. Para cantrik dan santri sudah bicara terbuka soal masuknya Kiai Jogoloyo ke partai politik” (Soim Anwar, 2009:211).
Dari kutipan diatas menggambarkan penulis seakan-akan berkeyakinan ulama harus tetap konsisten untuk bergerak dalam tataran pendidikan agama. Tidak perlu bahkan tidak seharusnya ikut-ikutan berpolitik apalagi sekadar dalam pertarungan perebutan kekuasaan.
Ketika ulama secara pribadi mulai bersentuhan dengan ranah politik, tentunya bukan kabar yang mengecewakan. Sebab bagaimanapun politik sebetulnya adalah bagian dari islam. Bukankah Nabi Muhammad SAW adalah seorang politis? Sebagaimana dicatat oleh para ulama dan sejarahwan islam, para sahabat nabi yang terdekat Abu Bakar Ash-Shidiq, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib semuanya pernah menjabat sebagai khalifah yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin.
Namun, di sisi lain terdapat ulama yang dalam menjalankan aktivitas politiknya tidak jarang mengabaikan nili-nilai islam. Itulah pesan yang tersirat pada cerpen Kiai Jogoloyo. Pengarang menggambarkan sisi yang berbeda. Ulama yang berpolitik (diperankan oleh tokoh Kiai Jogoloyo) bulan dilandasi syariat islam, tetapi lebih diatkan untuk kepentingan sesaat, sehingga pada akhir cerita tedapat kutipan “Esok paginya, di halaman depan koran tertulis: Judul berita utama: Politikus Partai Kecemplung kali” (Soim Anwar, 2009:218).
Dari uraian diatas, kiranya kita tidak meruncingkan pertentangan ulama yang ikut partai politik. Sering dikatakan bahwa politisi adalah “profesi kotor” dan Kiai adalah “profesi putih”. Amat kontras. Masalahnya ialah apakah yang putih akan bisa membersihkan yang kotor atau sebaliknya? Atau lebih banyak mana bidang puting ketimbang bidang hitam? Mempertimbangkan pertanyaan diatas yang ideal memang Kiai tidak berpolitik praktis, atau lebih sedikit yang terlibat lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar