Minggu, 30 Juni 2013

PESTA KELUARGA



Nasib Sang SopirBemo
            Di era globalisasi banyak hal yang telah mengalami kemajuan dan perubahan, baik itu di bidang pendidikan, ekonomi, maupun transportasi. Jika pada zaman dahulu banyak alat transportasi tradisional, maka sekarang berganti dengan alat transportasi modern yang bertenagakan mesin.
            Semakin berkembangnya zaman, sekarang banyak sekali kita temui masyarakat yang sudah mempunyai kendaraan pribadi, seperti mobil atau motor, sehingga hal ini menjadikan masyarakat lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum. Kenyataan yang sepertiinitergambardalamcerpen “PestaKeluarga” karya M. Shoim Anwar, padakutipanberikut.
“Sekarang kredit sepeda motor uang mukanya juga murah. Malah ditawar-tawarkan keliling kampung kayak jual jajan.”
“Banyak yang naik sepeda motor. Penumpang bemo tambah sepi,” kataku
(M. Shoim Anwar, 2009-86)
            Dari kutipan di atas dapat kita ketahui, bahwa dari ada banyaknya orang yang memiliki kendaraan pribadi, hal ini berpengaruh akan pendapatan sopir angkutan umum, seperti bemo. Jika kehidupan mereka dulu makmur, dan tak jarang yang kita temui sampai beristri dua, sekarang kehidupannya menjadi kekurangan. Bagi sopir bemo yang memiliki kendaraan sendiri, mungkin mereka tidak terlalu memikirkan setoran. Tetapi bagi sopir bemo setoran mereka selalu dibayangi akan setoran yang harus diserahkan kepada pemilik bemo yang telah mereka sewa, hal ini terbukti pada kutipan berikut.
“Masa keemasan para sopir bemo sudah berakhir. Dulu, ketika jumlah kendaraan dan sepeda motor masih sedikit, penumpang selalu berlebih dan kewalahan mengangkut. Kehidupan para sopir bemo menjadi makmur, bias buat rumah bagus dan perabotannya, beli tanah, hidup berkecukupan, makan enak, bahkan tidak sedikit yang beristri dua. Sekarang mereka kembali susah. Harta benda yang dulu dikumpulkan habis sedikit demi sedikit untuk menyambung hidup. Mereka yang beristri dua keluarganya makin sengsara dan sering terlibat pertengkaran soal belanja.” (M. Shoim Anwar, 2009, 87-88)
            Memang tidak mudah menjadi sopir bemo, disamping pendapatannya yang sekarang ini bisa dibilang kurang, selain itu di tempat mereka mengais rezeki juga sering diwarnai akan pertengkaran, seperti yang ada dalam kutipan berikut.
“Para sopir, termasuk aku tentunya, sering terlibat pertengkaran karena rebutan penumpang. Tempo hari bahkan kami nyaris tawuran dengan pengemudi bus kota karena rebutan jalur. Lahan kami makin sempit. Sekarang malah banyak angkutan antar-jemput untuk anak-anak sekolah. Rezeki  kami tambah melorot. Dulu kami sempat protes dengan keberadaan angkutan antar-jemput yang berplat hitam itu. Tapi kami kalah posisi, sebab mereka juga tidak mencari penumpang di jalan. Pendek kata, nasib pengemudi angkutan umum, baik dalam maupun antarkota, semakin kelabu dan tidak menjanjikan.” (M. Shoim Anwar, 2009-92)
            Mengingat akan kebutuhan keluarga di rumah yang semakin banyak, sedangkan pendapatan mereka yang sedikit, maka tak jarang terlintas di benak sopir bemo yang berkeinginan untuk mencari pekerjaan lain guna menyambung hidup mereka. Hal ini terbukti dalam kutipan berikut.
“Aku menerawang ke langit-langit. Terlintas juga dalam pikiranku untuk mencari pekerjaaan lain. Sopir bemo semakin lama semakin tidak memiliki harapan.” (M. Shoim Anwar, 2009-92)
            Meskipun dalam kehidupan mereka sering diwarnai bayang-bayang akan kejar setoran, tetapi tak jarang juga mereka mendapatkan rezeki secara tak sengaja dari barang penumpang yang tertinggal di bemo. Seperti yang pernah dialami oleh tokoh Pak Rais dalam cerpen pada kutipan berikut.
“Aku tetap mempertahankan daging itu. Tapi, hingga pukul satu siang, belum juga ada yang menanyakan. Padahal aku sudah melewati rute dan mangkal di tempat yang sama. Aku khawatir, jika dibiarkan tentu daging itu akan membusuk dan baunya bias menyebar. Aku pun terpaksa membawa daging itu pulang. Ada rasa tidak nyaman, tapi, di sisi lain, muncul juga rasa senang. Sesampainya di rumah, aku beritahukan perihal daging itu kepada istri.” (M. Shoim Anwar, 2009-90)
            Dari kutipan di atas, dapat dilihat betapa senangnya keluarga Pak Rais ketika melihat sang suami mendapatkan bungkusan yang berisikan daging segar. Tapi, sayangnya rasa senangnya tidak diimbangi dengan ketidak telitiannya. Bungkusan yang semula dikira berisikan daging segar, ternyata itu adalah tumor yang diambil oleh mahasiswa kedokteran guna untuk penelitian lebih lanjut, yang kebetulan tertinggal saat dia naik bemo Pak Rais. Seperti yang terbukti dalam kutipan berikut ini.
“Begini, Pak. Banyak orang menderita penyakit dalam tubuhnya. Ada yang di bawa kulit, di otak, kandungan, Rahim, payudara, usus, dan lainnya. Kami ingin meneliti penyakit itu.”
“Ya, ya…terus?”
“Nah, hasil operasi dari semua tadi apa tertinggal di bemo Bapak?”
“Eee…,” aku terdiam beberapa lama. “Eee…daging…?”
“Bukan daging, Pak. Itu adalah tumor yang telah kami ambil.”
“Tu…tumor…?” aku merema smulut.
“Ya, Pak, yang mirip daging dalam tas plastic itu adalah tumor.”
Tapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur, daging yang diperoleh nyata sudah dimasak dan dimakan bersama-sama dengan keluarga. Entah bagaimana nasib Pak Rais beserta keluarga setelah makan tumor itu. Yang jelas ini menjadikan pelajaran tersendiri bagi kita semua agar lebih berhati-hati lagi dalam bertindak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar